Inilah Hukum Dalam Islam, Suami Mencabut K3m** lu**n Saat M3n9 g** ul! Istri

Sebagian orang menjalankan KB dengan cara suami mencabut k3m**lu**n waktu berh**bung**n !nt!m dengan istrinya supaya tidak terjadi pembuahan. Bolehkah? 
Pers3tub**han suami istri adalah amalan yang diganjar pahala begitu besar. Amalan ini adalah jalan untuk pasangan Muslim untuk mendapatkan kebahagiaan sekaligus melanjutkan keturunan. 
Tetapi, ada beberapa Muslim yang pada titik spesifik sudah tidak lagi menghendaki memiliki keturunan. Mereka bakal meniti cara supaya tidak terjadi kehamilan selesai pers3tub**han. 
Cara yang kadang sering dilakukan yaitu sang suami mencabut kk3m**lu**nnya dari l**b**ng k3m**lu**n istri. Ini dimaksudkan agar cairan sp3rm** suami tidak masuk ke r**h!m istri sehingga tidak terjadi pembuahan. 
Terkait perkara ini, bagaimana status hukumnya dalam Islam? Apakah hal ini diperbolehkan. 
Masalah ini adalah salah satu perkara fikih yang telah lama dibahas beberapa ulama. Dalam kitab Al Syamil, seorang suami tidak diperbolehkan mencabut k3m**lu**nnya saat m3ngg**ul! istrinya serta dianjurkan untuk menuntaskan pers3tub**han. 
Bahkan jika perlu, cairan sp3rm** itu diusahakan supaya benar-benar masuk ke ke r**h!m istrinya. 
Syaikh Umar bin Abdul Wahab al-Husaini berkata, " Untuk orang yang bers3tub**h dengan istrinya yang masih perawan, semestinya ia tidak mencabut alat kelaminnya dari l**b**n v**g!n** istrinya (sebelum sistem pers3tub**han itu benar-benar usai), jangan seperti kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. " 
Sementara Imam Malik berpendapat seorang suami yang mencabut k3m**lu**nnya waktu m3ngg**ul! istrinya dihukumi makruh. 
Info mencabut alat kelamin suami saat bers3tub**h dengan istrinya itu ada dalam kitab al-Syamil, kalau seorang suami yang melakukan h**bung**n s3ksu**l dengan istrinya dari perempuan yang bukan hamba sahaya, jadi ia tidak bisa mencabut alat kelaminnya dari l**b**n v**g!n** istrinya itu, terkecuali istrinya member izin. 
Demikian pula jika istrinya yaitu seorang hamba sahaya, suami juga tidak bisa mencabut alat kelaminnya kecuali minta izin kepada yang memiliki hamba sahaya itu, atau -menurut salah satu pendapat- izin hamba sahaya itu sendiri. Berbeda dengan hamba sahaya milik pribadi. 
Ada juga menurut Imam Malik, seorang suami yang mencabut alat kelaminnya waktu sedang ber3tub**h hukumnya makruh secara mutlak. Juga tidak bisa untuk wanita yang di3tub**hi terima uang imbalan, supaya suaminya diperkenankan olehnya mencabut alat kelaminnya, lalu sewaktu-waktu dimasukkan kembali ke l**b**n v**g!n** istri dengan hasrat suaminya. 
Syaikh Umar bin Abdul Wahab al-Husaini berkata, untuk orang yang ber3tub**h dengan istrinya yang masih perawan (gadis tinting), seharusnya ia tidak mencabut alat kelaminnya dari l**b**n v**g!n** istrinya (sebelum sistem per3tub**han itu benar-benar selesai), jangan seperti kebiasaan yang doilakukan oleh orang-orang bodoh. 
Namun sebaiknya sp3rm** yang keluar dibiarkan saja cepat-cepat masuk keke r**h!m istrinya, siapa tahu Allah akan mentakdirkan dia seorang anak dari hasil ber3tub**htersebut, sehingga keturunan yang dikaruniakan kepadanya itu bisa bermanfaat untuk dirinya. Kemungkinan selain itu yaitu ber3tub**h yang dialkukan dengan istrinya adalah akhir pertemuannya dnegan istrinya, sebab tiada sseorang juga yang dapat mengelak dari datangnya maut. 
Sumber : K. H. Misbah Musthofa, terjemah quratu al-‘uyun, hal113-114, Al-Balagh. 1993.
sumber : http://islamberadab.blogspot.co.id/2017/02/inilah-hukum-dalam-islam-suami-mencabut.html?m=1

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.